ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH
Pendidikan merupakan faktor kebutuhan yang paling utama dalam
kehidupan. Biaya pendidikan yang tinggi jika dilihat dari penghasilan
rakyat Indonesia setiap harinya. Tingginya biaya pendidikan tidak
sebanding dengan penghasilan rakyat, sehingga banyak rakyat yang kurang
mampu tidak bias myekolahkan anaknya sampai jenjang yang lebih tinggi.
Mahalnya biaya pendidikan tidak hanya pada perguruan tinggi saja tetapi
juga biaya pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah walaupun
sekarang ini sekolah sudah mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Mahalnya biaya pendidikan sekarang ini dan banyaknya masyarakat yang
berada dibawah garis kemiskinan sehingga tidak begitu memperhatikan
pentingnya pendidikan bagi buah hatinya, sehingga anak tersebut hanya
mendapat pendidikan sampai pada pendidikan dasar atau sampai pada
sekolah menengah saja. Pada pemerintah saat ini sedang mencanangkan
wajib belajar 12 tahun. Jika masalah ini tidak mendapatkan perhatian
khusus dari pemerintah maka program ini mustahil akan terealisasi.
Pemerintah sudah menyerukan di berbagai media massa bahwa sekolah
gratis, tetapi kenyataannya dilapangan tidak demikian. Pemerintah
menyatakan bahwa sekolah SD dan SMP gratis SPP. Tapi masih banyak
pungutan-pungutan lain dari sekolah dengan dalih yang bermacam-macam
seperti Infaq, Sodaqoh jariyah, sumbangan dan lain lain yang jumlah dan
batas pembayarannya sudah ditentukan oleh pihak sekolah. Padahal
seharusnya Infaq dan Jariyah itu adalah sumbangan yang jumlah dan batas
pembayarannya tidak ditentukan oleh sekolah. Sebagai contoh ada sebuah
Sekolah Negeri yang pada tahun ini uang pangkal lebih dari Rp.1 Juta dan
didalamnya termasuk sumbangan/Jariyah yang sudah ditentukan jumlahnya
tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu dengan wali murid. Bayangkan buruh
tani atau tukang becak bagaimana bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah
tersebut. Akhirnya walaupun anaknya memiliki potensi dan prestasi yang
cukup bagus tapi akhirnya harus gigit jari.
Demikian halnya sekolah di perguruan tinggi tidak kalah mahalnya.
Terutama Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang telah berubah statusnya
menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang akhirnya untuk pendanaan
dibebankan sepenuhnya pada mahasiswa dengan menaikkan uang pangkal dan
biaya semesteran. Sebagai contoh Universitas Indonesia (UI), beberapa
tahun yang lalu uang pangkal hanya sekitar Rp. 2 juta. Kini uang pangkal
yang dibebankan pada mahasiswa mencapai Rp. 25 Juta. Untuk ukuran orang
kaya di Jakarta itu wajar, tetapi untuk orang kampung yang
berpenghasilan rendah itu sangat berat. Ini disebabkan karena UI sudah
menjadi BHMN atau BHP yang mana perguruan tinggi ini memerlukan biaya
tambahan karena subsidi dari Negara sudah dikurangi. Bagaimana nasib
anak orang miskin yang memiliki prestasi bagus? Bukankah mereka juga
berhak mengenyam pendidikan tinggi. Apakah mereka hanya berhak mengenyam
pendidikan sampai SMP atau SMA saja? Atau mereka hanya berhak sekolah
dan kuliah di sekolah/kampus “pinggiran”. Apakah mereka tidak pantas
untuk sekolah di sekolah unggulan ? lantas bagaimana amanat pembukaan
UUD 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau kini sudah berubah
menjadi mencerdaskan kehidupan anak orang kaya saja. Orang miskin biar
saja tetap miskin dan bodoh. Pada saat ini memang benar sekali apabila
ada sebagian orang yang mengatakan bahwa orang miskin dilarang sekolah.
Sekolah menjadi sesuatu yang ekslusif dan hanya untuk golongan tertentu
saja.
Mudah-mudahan pemerintah akan terus meningkatkan mutu pendidikan di
Negara ini seiring dengan dinaikkannya anggaran pendidikan. Sehingga
pendidikan bermutu bukan hanya untuk anak orang kaya saja, tetapi dapat
dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar